Rabu, 29 Januari 2014

Modus Anggota DPR memperkaya diri

Ini Empat Modus Anggota DPR Minta "Jatah"



JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan masih bisa berseloroh menanggapi perselisihannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Saat dijumpai Kompas.com, sesaat sebelum mengisi acara di KompasTV, Senin (29/10/2012) petang, ia mengungkapkan, praktik kongkalikong antara oknum anggota DPR dan BUMN telah terjadi sejak zaman Majapahit. Ia tampak merenung saat ditanya soal kondisi BUMN sebelum adanya praktik kongkalikong dan permintaan jatah dari oknum anggota DPR ke BUMN terbuka ke publik.  

1. Meminta fasilitas
Dahlan mengatakan, anggota Dewan kerap meminta berbagai fasilitas pada BUMN. Hal ini dilakukan untuk memuluskan sebuah proyek atau kucuran dana tertentu.

2. Meminta proyek
Dalam hal meminta jatah proyek, Dahlan menuturkan, praktik ini tidak hanya dilakukan legislatif, tetapi juga oknum eksekutif kepada jajaran direksi BUMN. Modusnya, untuk pengadaan tertentu yang dilakukan BUMN, oknum-oknum ini "bermain" dengan menitipkan rekanan yang dikenalnya untuk menjadi pemenang tender.

3. Memasukkan pegawai di BUMN
Dahlan mengakui, masih ada oknum-oknum yang berusaha memanfaatkan jabatannya untuk menekan direksi BUMN. Salah satunya adalah dengan berupaya memasukkan sanak keluarganya untuk menjadi pegawai BUMN. Namun, Dahlan menjelaskan, praktik ini bisa dicegah karena BUMN memiliki pola dan peraturan rekrutmennya sendiri.

4. Meminta uang "terima kasih"
Kendati tidak membantah adanya praktik kongkalikong dengan uang terima kasih ini, Dahlan mengaku belum pernah mengalaminya secara langsung. Namun, Dahlan menjelaskan, ada praktik kongkalikong antara oknum anggota Dewan dan direksi BUMN dengan cara memberikan uang miliaran rupiah kepada anggota DPR.

"Jika cara-cara itu tidak dipenuhi, bisa saja dipersulit. Kalau BUMN dapat dari negara, misalnya, nanti tidak cair. Mereka minta bagian, miliaran rupiahlah," kata Dahlan lagi.

Dalam sesi wawancara dengan KompasTV, Dahlan juga mengakui, praktik-praktik seperti ini hampir terjadi di seluruh BUMN. "Tidak mungkin di kementerian karena hanya mengelola anggaran Rp 100 Miliar. Mereka pasti larinya ke BUMN. Hampir semua BUMN mengalami ini, hanya perbankan yang tidak karena mereka ketat, ada pengawasan dari kementerian sampai BI," ujar Dahlan.

Oknum-oknum yang meminta jatah, diakui Dahlan, juga beragam, mulai dari anggota komisi hingga pimpinan fraksi. Namun, Dahlan belum bisa menyebutkan partai mana yang paling banyak meminta jatah.

Versi lain 

dari tulisan

1. Korupsi Anggaran

31. Kembali ke modus korupsi anggota DPR. Korupsi utama anggota DPR adalah terima suap fee dari urus anggaran seperti yang pernah saya kultwitkan
32. Kita tahu, Penyusunan APBNP seolah-olah sudah jadi “jatah” DPR sepenuhnya. Ada 200-300 triliun per tahun yang “dimainkan” anggota DPR.
33. Anggap saja min. 200 triliun yang “diolah” oleh anggota-anggota DPR khususnya banggar. Dengan fee 4-7%, para maling banggar itu raup 8-14 triliun/tahun
34. Jika jumlah anggota banggar anggap saja 80 orang, maka rata-rata per anggota banggar kantongi 100-200 milyar pertahun. Tentu ini dibagi-dibagi
35. Kas partai harus diisi, pejabat-pejabat Depkeu harus dibagi, para calo anggaran harus dapat bagian, para pimpinan banggar harus dapat setoran dst2
36. Sebab itu, banggar adalah pusat korupsi dan suap di DPR. Semua anggota DPR berebut untuk jadi anggota banggar. Dijamin kaya raya, ga bakal miskin

2. Makelar Proyek

37. Sumber korupsi /suap berikutnya adalah jadi makelar atau calo proyek. Yah kayak Nazar, Nasir, Sutan cs itu deh. Jika ada pengusaha yang mau
38. Pengusaha mau dapatkan proyek atau ada masalah dengan kementerian & lembaga tertentu, ya minta bantuan anggota DPR utk tekan pejabat Kementerian/Lembaga itu
39. Umumnya, pejabat Kementerian/Lembaga akan patuh pada anggota DPR yang memang mitra kerjanya dan yang tentukan anggaran Kementerian/Lembaga itu. Bahkan ada juga anggota DPR yang urus..
40. Perushaaannya sendiri untuk bisa menang atau kerjakan proyek di kementrian atau lembaga. Tentu untungnya lebh besar daripada hanya andalkan fee

3. Jatah konsesi

40. Modus korupsi lain anggota DPR adalah dengan minta jatah konsesi tambang, hutan atau lahan kepada menteri/gubernur/bupati terkait. Ini mainan cerdas
41. Banyak anggota DPR utamanya komisi II, IV, VII yang punya konsesi lahan, kebun dan tambang. Tinggal lobi-lobi dan tekan dikit, pejabat terkait ..
42. Akan berikan konsesi-konsesi itu. Yah dapat 1000-5000 ha saja para anggta DPR ini sudah kaya raya dan makmur seumur hidup. Konsesi ini bisa dijual
43. Bisa dikerjakan sendiri atau kerjasama dengan pihak lain. Intinya, ini sumber kekayaan yang tak habis-habisnya. Sumber daya alam kita dirampok mereka
44. Jika jual, konsensi harganya belasan sampai ratusan Milyar. Tergantung luas dan kandungan deposit di dalamnnya. Pokoknya ini uang besar-besaran

4. Makelar Perizinan

45. Modus korupsi anggota DPR lainnya adalah bantu urus macam izin. Fee nya tergantung izin yang dibantu urus. Mulai dari izin usaha tambang..
46. Izin distrributor bisnis migas, kayu hutan, industri besar dll. Semua ini hasilkan uang fee milyaran. Yang lebih cerdas, minta jatah saham

5. Makelar Kebijakan

47. Modus korupsi lain adalah melalui penentuan kebijakan bersama pemerintah. Tarif, pajak, bahkan tarif haji pun diembat suapnya. Kita..
48. Pernah dengar seorang ketua komisi peras seorang menteri 5 milyar di mesjid DPR agar usulan pemerintah tentang tarif haji dapat disetujui DPR
49. Hampir semua penentuan kebijakan pemerintah yang butuh persetjuan DPR harus sediakan uang pelicin milyaran bahkan puluhan milyar

6. Makelar Undang-undang

50. Modus korupsi anggota DPR lainya adalah penyusunan UU. RUU yang dibahas tentu sarat kepentingan para pihak. Pihak-pihak inilah yang melobi DPR
51. Agar pasal-pasal tertentu dapat disetujui atau dihapus sesuai dengan kepntingan masing-masing. Tentu saja ini memerlukan uang besar untuk suap anggota DPR
52. Kita masih ingat seorang ketua komisi yang “sengaja” hilangkan pasal tentang rokok di sebuah UU dengan imbalan suap milyaran. Yang tak terbongkar banyak

7. Backing Pejabat

53. Modus lain adalah dalam hal penentuan pejabat publik yang butuh persetujuan DPR. KPK, KPPU, KPU, OJK, ORI dst..dst..semua harus lobi & suap
54. Bahkan ada anggota DPR yang jadi beking pejabat-pejabat tinggi seperti gubernur, bupato, walikota yang sedang terkena masalah hukum di KPK, Polri atau kejaksaan
55. Untuk jadi beking itu, tentu ga gratis..anggota DPR utamanya komisi III akan dapat imbalan suap yang besar. Milyaran per orangnya. Tentu dibagi-bagi juga

8. Makelar Jabatan

57. Selain itu juga, anggota DPR dapat jadi calo jabatan startegis di kementerian atau lembaga, bahkan di provinsi, kabupaten dan kota
58. Istilah pejabat titipan. Tentu saja ini pakai suap atau kompensasi tertentu. Untuk pejabat eselon I yang strategis, uang suapnya bisa 1-5 M

9. Makelar Kasus

59. Anggota DPR juga bisa terima suap dari temuan-temuan penyimpangan yang dilakukan kementrian, lembaga, provinsi, kabupaten, kota, BUMN, proyek-proyek tertentu
60. Agar temuan tersebut tidak dipermasalahkan atau dibesar-besaran, suap wajib hukumnya. Besarnya tergantung bobot kesalahan dari temuan tsb. Milyaran
61. Yang lebih gila lagi, ada anggota DPR yang berani menekan Menkeu terkait masalah pajak konglomerat-konglomerat/perushaan besar. Termasuk restitusi pajak
61. Tentu saja suap atau sucesa fee nya luar biasa besar karena pajak yang “diurus” bernilai ratusan hingga triliunan rupiah. Eunaak tenaaan
62. Banyak lagi modus-modus korupsi, suap anggota DPR yang dipraktekan sehari-hari. Bikin pusing dan mual rakyat tapi bikin anggota DPR kaya raya hehehe
63. Demikian saja dulu..untuk nambah-nambah pengetahuan bagi yang mengetahuinya. Terima kasih sudah menyimak. Sekian.




  

Sabtu, 25 Januari 2014

Tulisan ini saya awali dengan cuplikan seorang Pramono Anung W yang membuat prediksi biaya seorang aggt DPR ke Senayan di 2014 akan berkisar 6 milyar sampe 10 Milyar  . . . lihat di

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo memprediksi biaya kampanye caleg untuk pemilu 2014 akan naik. Setidaknya, rata-rata satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada pemilu 2009. . . . terbitasn 3 Des 2013 



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo memprediksi biaya kampanye caleg untuk pemilu 2014 akan naik. Setidaknya, rata-rata satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada pemilu 2009.
"Tahun depan biaya kampanye seorang caleg akan naik rata-rata satu setengah kali lipat," kata Pramono di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/12).
Menurut Pramono, minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR sebesar Rp 300 juta. Paling besar, Rp 6 miliar. Biaya paling kecil tersebut dikeluarkan oleh mereka yang punya modal sosial tinggi seperti artis dan aktivis. Sedangkan biaya paling besar akan dikeluarkan oleh mereka dari kelompok pengusaha yang modal sosialnya rendah.
Pada tahun depan diperkirakan rata-rata biaya kampanye akan mencapai Rp 4,5 miliar. Yaitu, dengan asumsi rata-rata biaya kampanye pada 2009 mencapai Rp 3,3 miliar.
Menurut Pramono, fenomena mahalnya biaya kampanye tidak lepas dari sistem pemilu proporsional terbuka. Ini membuat caleg tidak saja bersaing dengan calon partai lain. Namun juga berhadapan dengan caleg sesama partai sendiri.

Anggota Dewan yang terpidana  dalam kasus korupsi Zulkarnaen

 terseret kasus korupsi di KeMendik



Wa Ode menjadi terdakwa dalam kasus suap alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011 dan tindak pidana pencucian uang berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan sejumlah transaksi mencurigakan dalam rekening Wa Ode.







Anggota DPR dari kalangan artis

Eko Patrio: Anggota DPR artis tak ada yang korupsi


Dia pun menegaskan, justru artis-artis yang duduk di Senayan mampu memberikan warna dan vokal. Eko menyatakan, artis yang duduk di DPR bisa dikatakan bagus dibandingkan dengan anggota DPR lainnya. Seperti halnya Nurul Arifin, Tantowi Yahya, Rieke Diah Pitaloka, Eko Patrio dan lain-lain


dan kita lanjutkan dengan tulisan Adhi Masardi berikut